UJIAN NASIONAL ( UN ) = BULLYING???


Menurut seorang psikolog Agustine Dwiputri dalam artikelnya mengatakan bahwa pengertian “Bullying” adalah  suatu tindakan yang mengganggu orang lain, bisa secara fisik, verbal, atau emosional. Bullying sering kali terlihat sebagai perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik ataupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih ”lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih ”kuat”
Mencermati pengertian bullying di atas bahwa, bullying tidak hanya mengganngu secara fisik tetapi juga teror psikologis terhadap orang yang dianggap lemah (imperior). Lalu apakah Ujian Nasiaonal ( UN ) = Bullying???
Dari tahun ke tahun tidak sedikit para siswa yang menunjukkan raut wajah harap-harap cemas (H2C), tidak sedikit diantara mereka tertekan bahkan stress menjelang Ujian Nasional (UN) tiba. Ujian Nasional (UN) memang sudah menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi para siswa. Di benak mereka hanya satu pertanyaan untuk dirinya sendiri “ apakah aku bisa atau tdak mencapai target rata-rata yang dipersyaratkan untuk kelulusan”.
Karena kecemasan dan takut gagal akhirnya segala upaya dilakukan para siswa. Dari belajar sendiri, diskusi kelompok, mengikuti jam tambahan di sekolah bahkan mengikuti berbagai macam bimbingan Ujian Nasional (UN) di luar sekolah tampa kenal waktu, tampa kenal lelah. Bahkan para siswa menjadi tidak berfikir rasional lagi, hal-hal yang aneh dan lucupun dilakukan seperti; mengunjungi makam, membeli jawaban UN, membeli pensil ajaib, hingga mencari wangsit ke tempat-tempat keramat demi meraih kelulusan.
Melihat fenomena yang terjadi, kecemasan, kehawatiran dan ketakutan terpancar pula di wajah para orang tua siswa. Mereka juga memacu anak- anaknya untuk belajar dan belajar, mereka terus menekan anak-anaknya untuk mengikuti jam tambahan baik di sekolah maupun di institusi bimbingan belajar.
Bukan saja kecemasan dan kehawatiran dialami oleh para orang tua siswa. Penyakit tersebutpun menular ke para guru. mereka takut dikatakan guru yang tidak professional apa bila banyak siswa yang tidak lulus. Demikian juga yang dirasakan para kepala sekolah karena taruhannya adalah jabatan. Apabila banyak siswa yang tidak lulus di sekolah yang dipimpinya, maka resikonya bisa jadi jabatannya digeser bahkan dicopot..
Konsekuensi dari taruhan tersebut, maka kepala sekolah bersama jajarannya terus berupaya untuk memenuhi target kelulusan optimal dengan berbagai cara. Berbagai jurus dilakukan sejak tahap pra-UN,  tahap pelaksanaan UN sampai kepada tahapan paska UN.
Pada tahapan pra – Ujian Nasional (UN), para siswa diwajibkan mengikuti pelajaran ekstra, para siswa harus mengerjakan tugas-tugas latihan utuk mata pelajaran yang di-UN-kan dan juga para siswa wajib mengikuti bermacam  tes uji coba (try-out).sedangkan pada tahapan pelaksanaan  dan tahapan paska UN entah jurus apa lagi yang dilakukan pihak sekolah (wallahuallam)
Demi mempertaruhkan kredibilitas dan jabatan, lagi lagi para siswalah yang menjadi korban.  Tekanan demi tekanan menimpa para siswa baik datangnya dari orang tua, maupun dari pihak sekolah. Para siswa sudah tidak diperlakukan secara manusiawi lagi.
Tidak mengheran apa bila banyak mas media baik media cetak maupun media elektronik yang memberitakan siswa yang stress, kesurupan dan bahkan bunuh diri karena ketakukan akan Ujian Nasional
Demi harga diri orang tua, demi kredibilitas sekolah semua dilakukkan untuk mencapai prosentase kelulusan yang maksimal. Kepala Dinas kabupaten/kota bahkan Pemerintah daerah tidak kalah cemasnya. Berbagai macam rapat koordinasi maupun sosialisasi dilakukan untuk meraih prosentase kelulusan yang tinggi tampa memperdulikan proses yang seharusnya dilakukan
Lalu apakah ujian nasional (UN) akan terus dilaksanakan tampa memperdulikan dampak psikologis anak? ataukah pelaksanaan ujian akan dikembalikan ke sekolah? sementara kalau ujian nasional (UN) tidak dilaksanakan lagi, lalu bagai mana bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap mutu pendidikan di Indonesia?. Ini sebuah dilemma yang sulit untuk dipecahkan.
Sebelum penulis mengahiri tulisan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, ini sekedar opini yang mungkin kondisi tersebut terjadi di sekolah kita, namun semoga tidak.

Posting Komentar

0 Komentar